Cerpen Keluarga: Air Mata Terakhir


BRAKKK!!!

PRRAANGG!!!

Bermacam-macam jenis suara yang bersumber dari hempasan pintu, lemparan piring, bantingan kursi, semuanya bercampuran dengan cacian serta makian.
Aku hanya bisa diam dibalik selimut biru-ku dengan telinga terpasang handset.

Dengan sekuat tenaga aku berusaha menahan diri untuk tidak berlari keluar dari kamar hanya untuk melerai dengan sia-sia pertengkaran kedua orangtuaku.

Telingaku masih dapat mendengar dengan jelas jeritan memilukan Mama di luar kamarku. Ya, mungkin mereka sedang berdiskusi asik tentang kuliahku. Atau membicarakan tentang harmonisnya hubungan keluarga kami.

Mungkin saja.

BRAKKK!!!

Seketika aku tersentak ketika pintu kamarku seperti sengaja di dobrak dari luar.

Mama berlari tertatih-tatih kearahku dengan bersimbah air mata.

Aku yang terduduk dengan wajah sok polos-ku hanya diam mematung membiarkan Mama memelukku. Tatapanku nanar menembus celah pintu kamar.

Dugaanku Papa akan tergopoh-gopoh memasuki kamarku dan susah payah menarik tubuh Mama agar melanjutkan 'kemesraan' mereka.

Ternyata salah. Detik-detik mencekam yang kutunggu-tunggu ternyata tidak terjadi.

Mama masih menumpahkan air matanya dalam pelukanku sedangkan Papa? Mana aku tahu kemana perginya laki-laki yang dulu aku hormati itu.

Beribu kata-kata berkecamuk dalam otakku saling rangkai-merangkai menjadi kalimat yang pas agar dapat menenangkan Mama.

Percuma. Karna seperti biasa, Mama akan betah berlama-lama menangis dalam pelukanku dan jika sudah merasa puas, dengan sendirinya Mama akan beringsut meninggalkanku dengan bercak merah di baju yang aku kenakan tanpa berkata apapun lagi.

Dan aku memutuskan untuk berdiam diri membiarkan Mama memelukku tanpa berniat untuk membalas pelukannya.

***

Langit siang itu begitu cerah, saking cerahnya sampai awan putih pun enggan mengotori permadani birunya.

Aku cukup bersyukur karena tinggal di pinggiran sebuah kota yang tidak terlalu tinggi tingkat polusinya.

Jangan tanya padaku seberapa besar aku mencintai kota kelahiranku ini. Begitu banyak menyimpan kenangan indah serta luka.

Aku mencintai kota kelahiranku tetapi juga membencinya. Ingin sekali aku meninggalkan kota kecil ini jauh sejauh-jauhnya.

Sejujurnya aku tak punya alasan kuat atas pertanyaan: mengapa aku membenci kota ini?

Papa.

Jangan salahkan aku bahwa aku sangat membencinya walaupun dulu aku begitu menghormatinya.

Aku bosan dengan jeritan Mama, tangisan Mama, makian Papa, suara bantingan piring, pintu, bahkan kursi meja makan. Aku sungguh bosan dan muak mendengarnya.

Hilang kemana keluargaku yang damai, tentram dan begitu harmonis?

Aku tak mengenali Papa yang sekarang yang suka seenaknya memperlakukan Mama layaknya budak yang disiksa.

Aku tak mengenali Mama yang sekarang pendiam, begitu ringkih dan terlihat pasrah jika sudah menghadapi amukan Papa.

Ya tuhan, cobaan apa pula yang kau berikan pada keluargaku ini?

***

Ponsel milikku yang tergeletak di laci meja berkedip-kedip tanpa suara menandai sebuah panggilan masuk.

Nama kak Reza tercantum di layar ponselku.

Segera aku masukkan benda mungil itu kedalam saku rok seragam osis yang aku kenakan dan segera mendekati guru Sosiologi-ku untuk meminta izin ke luar kelas sebentar.

Sampai di lorong dengan perpustakaan, aku segera menerima panggilan dari kakak laki-lakiku itu.

Aku ingat, sejak dua hari yang lalu aku berencana untuk menyusulnya ke Jakarta tanpa sepengetahuan kedua orangtuaku. Ya, kak Reza tinggal di Jakarta mengontrak sebuah rumah tak jauh dari kampusnya. Aku tahu, sangat tahu bahwa kak Reza juga merasa jenuh dengan keributan di rumah dan ia memutuskan untuk pergi. Masalah biaya hidupnya? Jangan di tanya. Sejak masih di bangku SMA, kakakku itu sudah bisa mencari penghasilan sendiri.

Dalam benakku, aku mengira kak Reza akan bertanya lebih lanjut tentang rencana keberangkatanku sepulang sekolah nanti. Tiket kereta serta sedikit uang tabungan sudah ada dalam dompetku dan aku tinggal membawa diri.

Ternyata dugaanku meleset.

"Vira kamu pulang ke rumah sekarang juga, lupakan niat kaburmu!"

Baru sempat membuka mulut, ternyata sambungan telah diputus oleh kakakku.

Sial aku kehabisan pulsa sejak kemarin jadi aku tidak bisa menghubungi balik kakakku.

Sebuah pesan singkat masuk,

Sebentar lagi Paman Adi akan menjemputmu di Sekolah. Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan lagi, Vira.

***

Benar saja, adik Mamaku yang biasa aku panggil Paman Adi menjemputku di Sekolah dan aku dengan terpaksa pulang lebih awal.

Di otakku menyimpan seribu kebingungan dah beribu pertanyaan. Kenapa kak Reza yang tadinya mendukung keputusan kabur-ku tiba-tiba menyuruhku untuk melupakan niatan itu dan segera kembali ke rumah?

Dan semua kebingungan serta pertanyaan berbelit di otakku terjawab sudah dengan adanya garis polisi melintang di depan rumahku.

Begitu turun dari motor Paman Adi, aku segera berlari menerobos kerumunan tetangga yang menatap prihatin kearahku.

Aku tersentak bagai tersengat ribuan volt arus listrik ketika melihat tubuh Mama berlumuran darah di lantai.

Astaga.. Apa yang telah terjadi?

Aku mendengar suara tawa dari Mamaku. Aku menatapnya tanpa berkedip dengan mulut setengah terbuka.

Ya tuhan..

Apa dia Mamaku?

Wanita itu. Dengan rambut indahnya yang telah acak-acakan tak karuan, seragam kantor yang telah robek di beberapa bagian serta lumuran darah di tubuhnya hingga berceceran ke lantai rumah.

Mama menyeringai menatap liar ke arahku.

Lengannya..

Lengan yang dulu senantiasa membelai lembut rambutku dengan kasih sayang, kini tersembunyi di balik tubuhnya dan ada sesuatu yang mengunci geraknya.

Kenapa Mamaku di borgol lengannya?

Mata tertawa terpingkal-pingkal sembari menggeser duduknya mendekat ke arahku.

Tubuhku terasa kaku sampai akhirnya orang-orang berseragam putih menghalangi tubuhku agar tak didekati oleh Mama.

Mama menangis. Lihatlah dan dengarlah suara tangisannya yang menyerupai anak kecil itu.

Kak Reza mendekatiku dan mengajakku menjauhi kerumunan polisi dan orang-orang berseragam putih itu.

"Apa yang sudah terjadi, kak? Kenapa Mama seperti... Orang gila?"

"Entahlah, kakak baru sampai rumah 1 jam yang lalu dan melihat keadaannya sudah kacau seperti ini. Papa dirawat di rumah sakit, Paman bilang keadaannya buruk setelah ditemukan berlumuran darah dirumah. Kesimpulannya hanya satu, Mama mencoba membunuh Papa dengan pisau dapur untung saja Paman Adi hadir tepat waktu" Terang kak Reza.

Aku menutup mulut dengan telapak tangan kananku sembari menggelengkan kepala.

Akhir-akhir ini aku memang jarang bertemu dengan Mama walaupun kami tinggal di satu atap. Dan aku tahu, bahwa Papa tidak pulang ke rumah. Selama keadaan aman menurutku, aku membiarkan Mama berdiam diri di kamar tanpa mengetahui keadaannya.

Ya tuhan...

Aku mendengar jeritan di luar sana dan kakiku segera berlari mendekati sumber jeritan memilukan itu.

Mama sedang dikerumuni oleh orang-orang berseragam putih yang berusaha menahan gerakan Mama.

Salah seorang diantara orang-orang berseragam putih itu memegang sebuah suntikan. Aku tahu, mungkin itu suntikan bius.

"Hentikan!" Pekikku yang sudah tak kuasa lagi menahan tangis.

"Jangan sakiti Mamaku lagi, dia sudah lebih merasakan sakit selama ini dan jangan ditambah lagi!" Aku memeluk tubuh Mama yang terdiam seketika.

"Vira sayang sama Mama.. Vira gak percaya kalau Mama mau membunuh Papa, Vira tahu Mama sayang sama Papa, Mama sayang Sama Vira juga sama kak Reza.."

Sekuat tenaga aku berusaha menahan tangisku agar tidak pecah seketika.

Mama hanya dia menatap kosong kedepan tanpa ekspresi apa-apa.

Ya tuhan.. Sakit sekali rasanya melihat keadaan Mama saat ini.

Kak Reza membisikkan sesuatu di telingaku lalu aku hanya mengangguk pasrah melepaskan pelukan Mama dan membiarkan orang-orang berseragam putih itu menyuntikkan sesuatu di lengan kiri Mama.

Kedua mata Mama menatapku dengan berkaca-kaca. Kedua mata itu seolah meminta pertolongan padaku.

Tapi apalah dayaku? Semuanya sudah terjadi dan selama ini aku hanya berusaha menutup telingaku dari keributan kedua orangtuaku.

***

1 tahun kemudian.

Aku lulus dari SMA dengan nilai yang lebih dari cukup memuaskan.

Berbeda dengan upacara kelulusanku waktu SMP yang terasa lengkap dengan kehadiran kedua orangtua serta kakakku.

Kali ini hanya ada Papa yang menghadiri upacara kelulusanku.

Ya, setelah kejadian setahun yang lalu, untuk sementara waktu aku tinggal bersama Paman Adi dan istrinya sampai Papaku dinyatakan sembuh. Papa sempat koma selama 1 minggu karena hampir kehabisan darah akibat tusukan pisau dari Mama.

Setelah itu aku tinggal berdua bersama Papa yang setelah beliau menjalani terapi kejiwaan yang entah apa fungsinya sebelum dinyatakan layak untuk mengasuhku lagi.

Sedangkan Mama?

Rutin setiap 1 bulan sekali aku menjenguknya di RSJ kota.

Aku percaya setiap Mama menatapku, aku yakin beliau tidak sepenuhnya kehilangan akal sehatnya. Dan aku berusaha untuk mengembalikan Mamaku yang dulu.

Mamaku yang ramah, baik hati dan begitu sabar menghadapi kelakuan Papaku yang benar-benar diluar batas.

Aku ingat, saat itu adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di bangku SMA dan itu pula pertama kalinya aku tidak sengaja melihat Papa dengan seorang tante yang begitu cantik ada di kamar Mama. Tepat saat itu pula Mama ada dibelakangku dan juga sama kagetnya melihat apa yang dilakukan Papa dengan tante cantik itu.

Sejak saat itu keluargaku mulai retak. Papa sering pulang larut malam, bahkan pernah tidak pulang tanpa kabar hingga membuat Mama khawatir memikirkannya.

Kalaupun Papa dirumah, Mama selalu terlihat biasa seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Beliau tetap menjadi seorang istri dan seorang ibu yang baik seperti biasanya. Hanya Papa yang berubah dengan sendirinya menjadi laki-laki yang bertempramen tinggi dan sering memperbesar masalah sepele misalnya masalah nasi goreng buatan Mama yang terlalu pedas.

Yang benar saja, itu konyol! Semua sanak saudara tahu bahwa Papaku ada manusia penggila makanan ekstra pedas dan Mama hanya memberikan apa yang biasanya disukai Papa. Dan kenapa hanya karena masakan nasi goreng Mama terlalu pedas Papa tega-teganya melemparkan sepiring nasi panas itu ke wajah Mama?

Yang membuatku kesal dan lebih memilih menutup telinga adalah satu hal: Mama tidak pernah melawan perlakuan kasar Papa.

Bahkan ketika saudaranya membujuknya untuk bercerai, Mama dengan tegas menolaknya dan dengan santainya berkata, "Kami baik-baik saja"

Hingga semua itu berakhir pada insiden yang hampir menewaskan Papa itu.

Aku benar-benar tidak tahu bahwa beberapa hari sebelumnya Mama mulai mengalami depresi berat.

Dan sekarang aku harus bisa mengembalikan Mama ke rumah kecil kami dan membuktikan pada semua orang bahwa Mamaku tidak gila!

Aku menghapus air mata yang mulai menetes di pelupuk mataku ketika namaku dipanggil oleh pembawa acara untuk maju membawakan pidato perpisahan.

***

"Kakak yang jemput aku kesini ya? Oke-oke.. Tenang aja, nilaiku selalu memuaskan kok.. Aku tetep gak mau kedokteran kak.. Aku maunya psikologi.. Apa? Kedokteran spesialis jiwa? Ya nanti aku pikirin lagi ya, kak.."

Aku berbicara dengan kakakku Reza di seberang sana melalui ponsel. Lulus dengan nilai mendekati sempurna membuatku dengan mudah memasuki fakultas yang aku inginkan. Hampir semua saudara mendukungku untuk masuk ke Fakultas Kedokteran tapi entah kenapa aku tidak terlalu berminat menurutinya.

Papa mendukung apapun keputusanku dan membebaskan aku untuk menentukan jalanku sendiri.

"Masalah biaya, biar Papa yang urus. Tugas kamu hanya belajar, belajar dan belajar" Begitu nasehatnya setelah aku menutup telefon dari Kak Reza.

Lalu terdengar suara pintu rumah yang dibuka secara paksa dan aku reflek berlari keluar.

"Mama?!.."

Seolah adegan slow motion, aku dan Mama saling bergerak maju mendekat satu sama lain.

Langkahku kalah cepat dengan Papa yang berjalan lebih dulu mendekati Mama dan...

PLAAKKKK!!!

Sebuah tamparan kencang mendarat di pipi Mama yang membuatnya terjatuh hingga membentur kaki meja di ruang tamu.

Mama meringis tanpa berkata sepatah katapun.

"Jangan dekati Vira! Kau hanya akan menyakitinya!" Bentak Papa menunjuk-nunjuk Mama.

Mama bersusah payah untuk bangkit dan Papa bersiap untuk melayangkan tamparan keduanya.

"Dia anakku, Reno!" Jawab Mama seolah menantang Papa.

Aku melihat lengan Papa yang bergerak meraih guci sebesar 2 kepalan tangan orang dewasa diatas meja kaca.

Mama bergerak mendekatiku dengan terseok-seok tanpa mempedulikan Papa.

Secepat mungkin aku beranjak mendekat dan memeluk erat tubuh Mama yang sangat-sangat kurindukan itu.

Tepat saat itu sebuah benda yang begitu keras melayang mengenai kepalaku dan ada sebuah cahaya menyilaukan mata selama beberapa detik sebelum akhirnya aku terjatuh secara perlahan dari pelukan hangat Mama.

***

Aku benar-benar tidak tahu berada di dimensi kehidupan mana saat ini. Semuanya gelap dan cahaya remang-remang serasa berputar mengelilingiku.

Aku hanya berjalan tanpa tujuan terus menerus. Hingga aku merasa ada yang memanggil namaku.

Perlahan namun pasti, aku melihat wajah yang damai itu.

Mama tersenyum padaku dengan matanya yang membengkak menahan tangis.

Susah payah aku membuka mulutku yang terasa pahit dan kering untuk merangkai kata-kata.

"Vhi-ra.. Sayang ma-ma.."

Aku tidak tahu apakah Mama mendengar kalimatku atau tidak, yang pasti setelah kata itu terucap aku merasa seperti melayang dan wajah Mama menghilang dalam pandanganku.

Hanya sebuah suara yang dapat kudengar.

"Selamat datang, Vira.."

Wajah Nenek tersenyum lembut menyambutku.
****TAMAT****

Related Posts:

Powered by Blogger.

About me

AKU- Cewek cerewet penyuka buku dan musik. Seorang dreamer yang gak pernah berhenti berjuang menggapai mimpinya. seseorang yang bercita-cita menjadi seorang yang famous ^_^

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

My Blog List

Pages

Flickr Images

Like us on Facebook